Sabtu, 18 Juni 2016

Teteh Mentor?



 Setiap hari Jumat di Smansa, ada satu kegiatan keislaman rutin, namanya mentoring. Biasanya yang akhwat diadain sepulang sekolah pas ikhwannya sholat jumat. Kalau yang ikhwan.. hmm fleksibel ya? Hehe. Setiap kelas punya teteh mentor dan asmen (asisten mentoring), terus teteh-teteh ini yang bakal nyampein materi dan ngasih segala macem.

Pas kelas 10, saya senang sekali tahu ada kegiatan ini. Karena di Ummul Quro juga ada hehehe. Terus tetehnya sangat baik dan seru banget. Setiap seminggu sekali kita kumpul dan berasa dicharge, diisi lagi sama hal-hal yang berbau kebaikan. Kadang ga cuma materi doang, tapi ada games, nonton, malah sempet masak-masak juga.

Sebelum kenaikan kelas 11, dikumpulin sama teteh-teteh. Tiba-tiba dikasih kertas yang isinya soal-soal seputar keislaman. Lah kan. Bingung. Selesai, udah dikumpulin. Terus dikasih tahu kalau bakalan jadi asisten mentoring. Waktu itu sih masih seneng-seneng aja, dapetnya juga kelas 11, jadi ya dipikir akan mudah karena sepantaran.

Ternyata…….




Enggak. 


Jauh sekali dari apa yang saya bayangkan. Waktu itu juga sama seorang teteh yang mungkin sedang sibuk-sibuknya. Saya seringkali yang nyampein materi. Kadang ngerasa belum siap, belum pantes, dan belum-belum lainnya. Terus karena sepantaran saya ngerasa engg gimana ya, kok kesannya saya sotau banget? Ditambah pula kesibukan kelas 11 yang begitulah.

Saya udah bertekad banget, tahun depan gamau deh jadi asmen lagi Titik.


Kelas 11 beres. Tiba-tiba dikasih tau lagi jarkoman yang isinya nama mentor dan asmen beserta kelas yang dipegangnya. Tuh kan! Saya malah jadi mentor. Saya akhinrnya ngomong ke teteh-teteh, saya gamau jadi mentor lagi, begini, begitu. Sudah dikasih wejangan macem-macem, sayanya keukeuh. Tetehnya juga keukeuh. Saya tetep jadi mentor, akhirnya.

Bulan-bulan pertama saya jalani dengan setengah hati. Sering saya meninggalkan karena hal-hal yang sepele. Ada tugas apalah, inilah, itulah.

Tapi yang seperti ini malah membuat saya ga tenang. Saya ngeliat temen-temen yang jadi mentor pada rajin-rajin, bawain ini dan itu, cerita macem-macem. Saya juga nyesel gimana liat asmen saya yang antusias (let me introduce you, her name is Hawa! Hi! ) dan gimana anak-anak yang rajin pada nungguin (saya pegang X MIPA 4. Hai!)

Semacam tertohok, seperti merasa ditegur. Akhirnya dari sana saya mulai belajar pelan-pelan. Saya baca suatu buku yang saya gamau buka halaman selanjutnya karena ini nyindir banget dan ngebuat saya makin merasa bersalah. Akhirnya sih tetep dibaca juga huhu.

“Dan tiadalah kami mengutus kamu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS 21:107)

“Mereka beriman kepada Allah dari hari akhir, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera (mengerjakan) kebajikan. Mereka termasuk orang-orang saleh” (QS 3 : 114)

Dari situ saya mulai berbenah. Gak mudah. Perasaan-perasaan ga pantes itu masih seringkali muncul. Ngerasa ga percaya diri karena ilmu yang dipunya masih cetek. Tapi dari situlah hikmahnya. Seperti teko yang menumpahkan isinya tapi engga pernah habis. Disamping harus memberi saya juga punya tuntutan untuk mengisi diri sendiri. Seperti air yang terus mengalir, airnya tidak akan menggenang dan tidak akan keruh.

Saya juga belajar untuk memperbaiki diri sendiri. Bagaimana agar bisa menjadi suatu contoh yang baik. Saya sering melakukan kesalahan, misalnya terlambat, materinya belum siap, belum bisa menjawab pertanyaan-pertnyaan, kadang masih suka grogi, jayus (garing banget anaknya kaya kripik kentang)

Godaanya juga banyak. Karena hari Jumat itu pulang siang, banyak banget tawaran main sana-sini. Hehehehehehe. Kadang kepikiran buat ikut apa ya… Haha ga deh!

Tapi dibalik kesulitan pasti ada kemudahan. Terganti kok sama temen-temen yang hadir dan ngerasa seneng (Kata mereka) (apalagi kalau disogok es krim) Tempat pelarian terbaik di saat sibuk-sibuknya kelas 12. Sumber doa huhuhu.

“Dan sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk orang lain”


Semoga. Semoga. Semoga apa yang saya lakukan satu tahun ke belakang menebar kebermanfaatan.



Semangat turun lantai, kalian! 
Terima kasih untuk satu tahun hebatnya! 💓💓💓




Kamis, 16 Juni 2016

Zona Waktu

 “tiap orang punya timezone-nya masing-masing. Mungkin saat ini mereka bicara tentang cinta, mungkin besoknya sudah tidak. Biarkan orang-orang hidup pada zona waktu mereka”.

prawitamutia.tumblr.com

iqbalhariadi.com

Terinspirasi dari dua tulisan di atas. Hayu sok mangga dibaca! :) 

Dulu saya pernah sempat protes dan ngomel-ngomel sama umi,
"Kenapa sih akun ini ngomongin jodoh mulu?! Menunggulah, apalah, blabla. Haduh! "


Setelah membaca dua tulisan di atas, saya rasanya jadi malu. Hahaha. Mungkin sama ketika orang-orang membaca blog ini (ada yang baca?) yang bosan lagi-lagi membahas soal galauin jurusan, ujian, dan segala kehidupan drama anak SMA.


Setiap orang punya zona waktunya masing-masing.


Zona waktu saya sendiri ya ini, jelang kuliah, jelang rantau, dan kehidupan baru. Zona waktunya orang lain mungkin berbeda?


Mungkin buat sebagian orang, tulisan jodoh-jodoh dan cinta-cintaan itu ya sedang pas dengan zona waktunya. Tulisan-tulisan yang menjadi solusi buat mereka.


Kan bisa selektif ya, Sum? :)

Oiya, soal anti cinta-cintaan.


HAHAHAHAHAHAHAHA.

Sebulan yang lalu, saya sempat meng-upload sesuatu yang bikin heboh. Ga ada niat apapun deh. Euforia anak SMA ya maafin aja. Lumayan dibanjiri pertanyaan siapa dan keheranan.

"Ga nyangka aja gue sumi bisa gitu"
"Siapa lu teh?"
"Penasaran banget"
"Ya hebohlah lu kan aseksual"

Yang terakhir emang ter-kurang ajar.


Tapi sadar kok emang salah hehe. Habis itu juga langsung cek posting yang dulu-dulu, banyak sekali yang ga lulus terbit. Menumpuklah draft hampir mencapai seratus. Sebala itu......


Buat saya, urusan yang satu itu belum masuk dalam zona waktu saya saat ini. Masih menjadi prioritas ke sekian. Ya seenganya juga bukan suatu hal yang pantas dikonsumsi publik. Kesemsem sama satu dua, ya pernahlah. Tulisan-tulisan menye-menye di laptop yang berpassword. Dibaca kalau lagi sedih, nanti ketawa-ketawa sendiri. Semenggelikan itu ya...


Ini menurut pandangan saya sendiri sih hehe. Setiap orang punya cara sendiri untuk menjalani zona waktunya. Semoga cara entah dengan tulisan atau sikap itu bisa mendewasakan kita. 



Depok
01.02

Minggu, 05 Juni 2016

credit to Tannia Sembiring.
Bali, 13 Juni 2015

Lari adalah lari
Langit adalah langit
Laut adalah laut
Biarkan jadi pelarian



puasa full terakhir di rumah ya?
hehehehehehehehehehehehe


Kontemplasi

Lusa kemarin ada seseorang yang mengingatkan saya dengan caranya yang begitulah –sudah dimaafkan jadi skip aja. Awalnya saya langsung merasa malu dan tidak enak hati. Ada juga rasa kesal karena ya menurut saya itu tidak menyenangkan.

Tapi di sisi lainnya, hal itu membuat saya tersadar ada yang harus dibenahi dan diperbaiki. Setelah kejadian tersebut saya banyak berpikir dan merenung, yang berakibat saya menangis bombay dan cerita ke seorang Teteh. Drama banget seh. 

Tegurannya berupa batasan-batasan aurat. Harusnya saya sudah paham. Tapi tidak dengan pengaplikasiannya. Seringkali saya membenarkan bahkan menganggap remeh. Saya tidak menjalankan dengan sepenuhnya.

Kilas balik perjalanan bagaimana proses saya berhijab. Alhamdulillah diberi keluarga yang luar biasa. Sedari kecil saya sudah dibiasakan memakai hijab. Walaupun masih dipadu-padankan dengan lengan pendek. TK, SD, SMP di sekolah islam. Full day school. Saya sudah makin tebiasa dengan hijab. Tapi ya begitulah, masih sering pakai celana, nongol-nongol depan pintu tidak pakai hijab, lari-lari ke rumah tetangga hijabnya ketinggalan! 

 Rasanya SMP  menjadi sebuah titik balik untuk saya. Saat itu diwajibkan di luar hari sekolah (misal Sabtu) untuk memakai rok. Awalnya saya protes keras. Saya ingat menulis di diary waktu itu. Koleksi rok saya cuma satu-dua. Sisanya rok seragam sekolah. Titik. Seiring berjalannya waktu, saya sangat menikmati aturan ini. Awalnya yang karena terbiasa, menjadi paham, lalu cinta. Saya mendapat banyak pelajaran dan pemahaman-pemahaman yang baik. Bukan lagi sekedar “memang pakai dari kecil”. Akhirnya mengerti berhijab adalah kewajiban , perintah sebagai bukti cinta dariNya.

Saya masih belajar, insyaAllah, semoga, terus sampai saat ini. Saya sadar betul hijab saya kadang masih ngepas. Kadang harusnya mendouble tapi malah dilewatkan. Bahkan jujur, saya baru belajar pakai kaos kaki kemana-mana, meski cuma tukang bubur depan, kelas 12 ini. 

Sehubungan dengan hijab-hijab ini, saya sering cerita ke Teteh-teteh, betapa saya iri dengan ukhti-ukhti yang sudah konsisten dengan hijabnya, juga tutur katanya, tingkah lakunya. Adem-adem gimana ya, menenangkan jiwa, katanya. Saya iri! Banget! Dengan penuh kesadaran melihat diri yang amat serampangan dan acakadut. Nah kan apa coba.

Tapi , katanya

“Islam tidak membunuh karakter, kok. Ga ada yang maksa harus jadi akhwat pendiem (HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA TUH KAN GAGAL KALEM) Karena karakternya memang diciptakan begitu. Malah kadang jadi warna tersendiri, yang bahkan karakternya cocok untuk dakwah di segmen tertentu”

Teteeeeeh minta dipeluk banget. Iya ya, dulu, Abu Bakar dengan sikapnya yag lemah lembut, atau Umar dengan sikap yang keras dan ketegasannya. Ah, Sum!

Aturan berpakaian dan berhijab mungkin menjadi bahasan yang sensitif  untuk sebagian orang. Saya menyadari satu hal, hidayah memang untuk dijemput, benar adanya. Coba dimulai dengan berpikir positif dan memandang semua itu adalah sebuah kebaikan. Pahami baik-baik apa makna yang terkandung di dalamnya. Hijab adalah sebuah pesan yang mengandung perlindungan dan kasih sayang. Semoga, cahaya itu akan mengetuk hati-hati kita (AAMIN SUM AAMIN!)

Perubahan yang paling syahdu adalah perubahan yang kita bisa menikmati prosesnya.

Barangkali masih ada yang keliru dari apa yang mendasari kita kita untuk berupaya berubah, itulah mengapa hati bisa merasa jengah.

Selamat terus beranjak, selamat terus berbenah. Semoga kita menjadi pribadi yang bisa menikamti perubahan (yang baik) , bukan hanya agar dikira sudah mulai membaik.

( source: jalansaja.tumblr.com )

 Mari berposes terus! Jangan lelah menjadi pembelajar. Setahap demi tahap untuk terus memperbaiki. Dinikmati setiap rangkaiannya. Mari kita saling mendoakan! 

Oiya, selamat menunaikan ibadah puasa! Semoga banyak kebaikan yang menjadi ladang amalan. Jangan lupa target-targetnya, Sum! 




Sabtu, 04 Juni 2016

“Kapan rasa syukur kita mengalahkan kekhawatiran pada hidup yang sedang kita jalani dan keresahan tentang masa depan?” -Kurniawan Gunadi


 Syukur, satu hal dari sekian banyak yang sering kali kita lalai akannya. Kapan rasa syukur mengisi setiap kejadian suka maupun duka? Kapan rasa syukur digumamkan bahkan sekalipun dalam kekurangan? Kapan rasa syukur bergema ketika dilimpahkan nikmatNya yang tak terkira? Bahkan sudahkah mengucap rasa syukur akan nafas yang masih berhembus, mata yang masih terbuka di pagi hari ini, kaki dan tangan yang senantiasa bergerak dengan kokohnya?

Sekalipun dalam keadaan teruji, bagaimana kita bersyukur bahwa Allah ingin mengangkat derajat seorang HambaNya ke sisiNya yang lebih tinggi. Bahwa Allah ingin menguji keimanannya. Bahwa Allah mengingnkan hambanNya kembali pada fitrahNya. Bahwa Allah amat sangat menyanginya.

Kapan rasa syukur dan sikap prasangka baik kita menjadi pilar-pilar prinsip yang kita tegakkan setiap harinya?

Menjalani kehidupan saat ini tentu tidak mudah. Persaingan sosial yang begitu ketat, dimana harta dan tahta begitu didengungkan. Tolak ukur kesuksesan menjadi apa-yang-ia-punya-di-dunia. Iri dan dengki menjadi santapan sehari-hari. Merasa tidak puas akan kekayaan, jabatan yang dimiliki.

Kemana rasa syukur kita? Dimana rasa menghamba pada Tuhan Yang Maha Esa?

Sedikit melihat seseorang mempunyai kelebihan, lantas meraung ingin memilikinya juga. Mungkin saat ini salah satu dari kita masih berstatus pelajar, lantas meminta ini dan itu pada orang tua. Menuntut segalanya menjadi sempurna, semuanya dikabulkan seperti yang kita inginkan. Tapi sayang, bukan begitu mekanismenya.

Ada yang diberi kelebihan sehingga langsung tercapai. Ujian kenikmatan, lantas bersyukurkan kita? Atau melupakan siapa yang memberi? Ada yang diminta berjuang dan bersabar terlebih dahulu. Ujian kenikmatan pula, akankah kita menyerah dan malah menjauh, bahkan menyalahkan?

Banyak hal dalam hidup ini yang tidak berjalan sesuai dengan apa yang kita kehendaki, karena ada Tuhan Yang Maha Berkehendak. Ada Yang Maha Mengetahui. Ada yang langsung dikabulkan, ada yang ditunda, ada juga yang diganti menjadi lebih baik.

Belum-belum mengerti soal ini, sudah berburuk sangka padaNya, pada takdir. Kehidupan dunia sering kali membuai sehingga melupakan timbangan-timbnagan akhirat. Kita lupa untuk apa ada di dunia. Kita lupa pada kehidupan yang kekal abadi nanti.


Alhamdulillahi rabbil ‘alamin
Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam

Kapan terakhir kita bersyukur?

Tulisan untuk seseorang yang kami sayangi
Semoga selalu dilimpahkan rahmat dan hidayahNya