Minggu, 05 Juni 2016

Kontemplasi

Lusa kemarin ada seseorang yang mengingatkan saya dengan caranya yang begitulah –sudah dimaafkan jadi skip aja. Awalnya saya langsung merasa malu dan tidak enak hati. Ada juga rasa kesal karena ya menurut saya itu tidak menyenangkan.

Tapi di sisi lainnya, hal itu membuat saya tersadar ada yang harus dibenahi dan diperbaiki. Setelah kejadian tersebut saya banyak berpikir dan merenung, yang berakibat saya menangis bombay dan cerita ke seorang Teteh. Drama banget seh. 

Tegurannya berupa batasan-batasan aurat. Harusnya saya sudah paham. Tapi tidak dengan pengaplikasiannya. Seringkali saya membenarkan bahkan menganggap remeh. Saya tidak menjalankan dengan sepenuhnya.

Kilas balik perjalanan bagaimana proses saya berhijab. Alhamdulillah diberi keluarga yang luar biasa. Sedari kecil saya sudah dibiasakan memakai hijab. Walaupun masih dipadu-padankan dengan lengan pendek. TK, SD, SMP di sekolah islam. Full day school. Saya sudah makin tebiasa dengan hijab. Tapi ya begitulah, masih sering pakai celana, nongol-nongol depan pintu tidak pakai hijab, lari-lari ke rumah tetangga hijabnya ketinggalan! 

 Rasanya SMP  menjadi sebuah titik balik untuk saya. Saat itu diwajibkan di luar hari sekolah (misal Sabtu) untuk memakai rok. Awalnya saya protes keras. Saya ingat menulis di diary waktu itu. Koleksi rok saya cuma satu-dua. Sisanya rok seragam sekolah. Titik. Seiring berjalannya waktu, saya sangat menikmati aturan ini. Awalnya yang karena terbiasa, menjadi paham, lalu cinta. Saya mendapat banyak pelajaran dan pemahaman-pemahaman yang baik. Bukan lagi sekedar “memang pakai dari kecil”. Akhirnya mengerti berhijab adalah kewajiban , perintah sebagai bukti cinta dariNya.

Saya masih belajar, insyaAllah, semoga, terus sampai saat ini. Saya sadar betul hijab saya kadang masih ngepas. Kadang harusnya mendouble tapi malah dilewatkan. Bahkan jujur, saya baru belajar pakai kaos kaki kemana-mana, meski cuma tukang bubur depan, kelas 12 ini. 

Sehubungan dengan hijab-hijab ini, saya sering cerita ke Teteh-teteh, betapa saya iri dengan ukhti-ukhti yang sudah konsisten dengan hijabnya, juga tutur katanya, tingkah lakunya. Adem-adem gimana ya, menenangkan jiwa, katanya. Saya iri! Banget! Dengan penuh kesadaran melihat diri yang amat serampangan dan acakadut. Nah kan apa coba.

Tapi , katanya

“Islam tidak membunuh karakter, kok. Ga ada yang maksa harus jadi akhwat pendiem (HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA TUH KAN GAGAL KALEM) Karena karakternya memang diciptakan begitu. Malah kadang jadi warna tersendiri, yang bahkan karakternya cocok untuk dakwah di segmen tertentu”

Teteeeeeh minta dipeluk banget. Iya ya, dulu, Abu Bakar dengan sikapnya yag lemah lembut, atau Umar dengan sikap yang keras dan ketegasannya. Ah, Sum!

Aturan berpakaian dan berhijab mungkin menjadi bahasan yang sensitif  untuk sebagian orang. Saya menyadari satu hal, hidayah memang untuk dijemput, benar adanya. Coba dimulai dengan berpikir positif dan memandang semua itu adalah sebuah kebaikan. Pahami baik-baik apa makna yang terkandung di dalamnya. Hijab adalah sebuah pesan yang mengandung perlindungan dan kasih sayang. Semoga, cahaya itu akan mengetuk hati-hati kita (AAMIN SUM AAMIN!)

Perubahan yang paling syahdu adalah perubahan yang kita bisa menikmati prosesnya.

Barangkali masih ada yang keliru dari apa yang mendasari kita kita untuk berupaya berubah, itulah mengapa hati bisa merasa jengah.

Selamat terus beranjak, selamat terus berbenah. Semoga kita menjadi pribadi yang bisa menikamti perubahan (yang baik) , bukan hanya agar dikira sudah mulai membaik.

( source: jalansaja.tumblr.com )

 Mari berposes terus! Jangan lelah menjadi pembelajar. Setahap demi tahap untuk terus memperbaiki. Dinikmati setiap rangkaiannya. Mari kita saling mendoakan! 

Oiya, selamat menunaikan ibadah puasa! Semoga banyak kebaikan yang menjadi ladang amalan. Jangan lupa target-targetnya, Sum! 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar